[Slice of Life] Hidup Dengan Hernia, Operasi, dan Perjalanan Penyembuhannya





Jadi,

sering muncul benjolan aneh di bawah perut saya, yang terkadang menimbulkan sensasi perut melilit dan membuat saya sulit beraktivitas seperti biasa. Tapi, dalam kondisi seperti itu, biasanya saya hanya perlu berbaring, makan lebih sedikit, tidur, dan keesokan harinya benjolan itu hilang, dan saya kembali sehat.

Saya tidak ingat kapan pastinya hal seperti itu terjadi, yang jelas secara rutin dan kondisi yang sama selalu berulang. Awalnya saya pikir itu cuma masalah pencernaan sederhana, akibat pola makan saya yang kurang sehat: junk food dan kopi.

Saat saya merasa penasaran, saya mencoba mencari jawaban di Google, sebuah hal (yang saya rasa) bodoh yang selalu saya lakukan setiap memiliki gangguan kesehatan. Padahal mestinya periksa ke klinik atau rumah sakit terdekat, dan keluarga juga tentunya sudah memberitahu berulang-ulang untuk periksa, tapi ya, itulah saya dan kebodohan serta rasa takut saya, lebih memilih untuk tidak diperiksa dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Saya sempat beberapa kali tumbang dengan keadaan perut nyeri disertai demam tinggi. Ketika itu terjadi, bagian bawah perut saya pun bengkak, tapi saya menolak untuk percaya bahwa benjolan itu ada hubungannya dengan perut nyeri dan demam ini adalah akibat benjolan tersebut, karena rasa sakit yang saya rasakan bukan persis di daerah benjolan.

Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, saya hanya perlu berbaring, makan lebih sedikit, tidur, dan keesokan harinya benjolan itu hilang, dan saya kembali sehat. Hal seperti itu berulang, datang dan pergi, tidak sampai memaksa saya untuk pergi ke dokter.


----------


Saya bukan orang yang aktif, sama sekali tidak pernah berolahraga. Terakhir berolahraga, mungkin waktu bersekolah di tingkat SMA. Belum lagi, sejak bisa naik kendaraan bermotor, saya sama sekali tidak pernah lagi berjalan kaki.

Tubuh saya yang tadinya kurus kering kerontang, perlahan mulai menimbun lemak, diiringi semakin jarangnya bergerak. Maklum, profesi sebagai kuli menggambar, seharian ya hanya duduk, dan berbaring untuk tidur.

Proses penimbunan lemak itu semakin menjadi-jadi setelah ada teknologi pesan makanan online, yang membuat saya yang tadinya relatif masih cukup kurus karena malas bergerak dari rumah untuk membeli makanan atau cemilan dan segala minuman manis, sekarang tinggal pesan lewat aplikasi, dan duduk manis menunggu makanan dan minuman datang.

Berat badan saya meningkat pesat, yang tadinya sekitar 50-an kilogram sebelum ada aplikasi pesan makanan online, menjadi 80-an kilogram dalam jangka waktu kurang lebih 1-2 tahun. Lucunya, saya baru mengetahui berat badan saya melonjak menjadi 80-an kilogram ketika saya mau memperpanjang SIM, dan lagi membuat surat kesehatan untuk salah satu syaratnya.

Melihat berat yang sudah begitu berat, muncul niat untuk berolahraga. Tapi niat itu hanya niat belaka, karena belum ada hal-hal yang mendesak saya untuk betul-betul melakukannya. Pikiran saya yang dulu 'nggak apa-apa kurus, yang penting sehat', sekarang berubah menjadi 'nggak apa-apa gendut, yang penting nggak sakit'.

Karena kebetulan waktu berat badan saya melonjak, saya sangat jarang sakit, kecuali beberapa waktu sekali, dimana benjolan di bawah perut itu muncul. Itupun hanya berlangsung 1-2 hari, dan tidak menimbulkan rasa sakit luar biasa yang mengharuskan saya ke dokter.

Jadi, saya pikir saya sehat dan baik-baik saja. Saya melanjutkan pola hidup tidak sehat, dan penyakit hernia (yang saya anggap bukan hernia pada waktu itu) pun berlanjut hidup di tubuh saya, tanpa benar-benar saya waspadai.


----------


Tahun 2021, beberapa teman offline dan online mulai posting tentang penyakit dan pengobatan yang mereka alami dan jalani. dari yang ringan-ringan saja, sampai yang saya tidak bisa bayangkan bagaimana beratnya.

Hal itu membuat saya sadar, kalau kita memang semakin tua dan semakin dekat dengan berbagai macam penyakit, karena tubuh sudah tidak seprima dulu, terlebih tubuh yang tidak pernah dibawa berolahraga.

Akhir tahun 2021, saya mencoba membeli sepasang dumbbell yang beratnya bisa diatur dari 2,5 kilogram, hingga 9,5 kilogram masing-masing. Hal ini ternyata merupakan sebuah awal yang baik dalam perjalanan saya menuju hidup yang lebih sehat.

Saya semakin suka mencari tahu tentang olahraga yang bisa dilakukan dari rumah, hingga ke konten-konten tentang gizi dan nutrisi yang diperlukan untuk hidup sehat. Sialnya, kebiasaan buruk saya untuk membeli cemilan manis dan asin masih terus berjalan sambil saya berolahraga. Memang kalau sudah kecanduan dan kebiasaan, sulit sekali untuk berhenti, apalagi kopi botolan dan keripik jagung itu begitu nikmat dan ringkas untuk menemani kerja di siang hari.

Selama saya mulai berolahraga menggunakan dumbbell. benjolan di bawah perut saya semakin sering muncul. Malah, saya sempat tiba-tiba demam dengan sensasi perut melilit tepat satu hari setelah saya mulai berolahraga secara intens.

Lagi-lagi, yang saya salahkan waktu itu adalah junk food dan kopi. Ah, ini gara-gara kebanyakan makanan berminyak dan kopi dingin di hari yang panas, begitu pikiran saya. Padahal, itu kemungkinan besar adalah usus yang turun dan terjepit, sehingga menimbulkan nyeri seperti perut melilit, diare, hingga demam. Nafsu makan pun hilang. Jadi saya hanya berbaring dan tidur, berharap badan saya kembali membaik tanpa harus minum obat apa-apa dan tanpa harus pergi ke klinik untuk diperiksa.

Untungnya (sebenarnya sial ya, seandainya kondisi saya saat itu parah, mungkin hernia saya bisa ditangani lebih cepat), benjolan itu hilang di hari selanjutnya, dan rasa sakit serta demam yang saya alami memudar dan saya bisa beraktivitas seperti biasa.

Rutinitas itu saya jalani hingga awal tahun 2022, dimana saya harus vaksin covid demi bisa menyaksikan Spider-Man No Way Home di bioskop. Setelah divaksin, badan saya terasa lemah dan pusing, sehingga saya harus beristirahat selama kurang lebih 2 hari setelah vaksin. Hal itu merusak ritme rutinitas olahraga yang saya jalani, sehingga saya off berolahraga hingga bulan Februari, setelah vaksin dosis kedua.

Di bulan Februari, saya mencoba kembali aktif berolahraga. Berat badan saya berada di sekitar 74-77 kilogram, dan menurut beberapa aplikasi kesehatan, berat ideal untuk orang dengan tinggi badan 182 centimeter seperti saya adalah sekitar 71 kilogram.

Terdengar tidak jauh, tapi saya merasa perut masih buncit, wajah masih bulat, yang kurus cuma lengan dan kaki. Menggali informasi olahraga dan kesehatan lebih dalam, saya berkesimpulan bahwa olahraga cardio yang saya lakukan harus saya kurangi, dan meningkatkan intensitas olahraga angkat beban.

Tadinya saya mencoba berjalan minimal sepuluh ribu langkah setiap hari, diiringi angkat beban kurang lebih 30 menit (termasuk istirahat 30 detik di setiap setnya). Berat badan memang turun, tapi otot saya terasa tidak berkembang.

Saya berhenti mengejar minimal sepuluh ribu langkah setiap hari, dan fokus dengan olahraga angkat beban. Padahal bisa jadi, memang selama ini otot saya sangat tipis karena tidak pernah berolahraga, dan untuk otot itu tumbuh, tentu tidak dalam waktu singkat.

Semua berjalan dengan baik, dan tubuh saya terasa lebih sehat hingga bulan Mei. Pertengahan bulan Mei, saya tidak bisa buang air besar selama beberapa hari, dan benjolan di bawah perut kembali muncul.

Lagi-lagi, kopi dan makanan yang kurang sehat kembali menjadi kambing hitam atas kondisi yang saya alami. Memang kebetulan, waktu itu saya mengonsumsi terlalu banyak kopi dan makanan pedas, sehingga saya pikir ada masalah dengan pencernaan saya, mungkin meradang.

Seperti biasa, saya langsung berbaring dan beristirahat ketika benjolan itu muncul, dan berharap benjolan itu kembali hilang setelah bangun tidur. Tapi, kali ini itu nggak terjadi. Benjolannya tetap ada, walaupun badan saya tidak terasa sakit dan terasa normal seperti biasa.

Karena tidak ada rasa sakit ataupun tidak enak badan yang saya rasakan, saya melanjutkan kehidupan seperti biasa, melakukan olahraga angkat beban di sore hari selama 3 hari berturut-turut, 1 hari istirahat, kemudian diulangi lagi 3 hari berturut-turut dan 1 hari istirahat.

Benjolan di bawah perut nggak hilang-hilang, dan semakin turun hingga ke testis sebelah kanan. Tapi nggak ada juga rasa sakit yang saya rasakan. Cuma benjolan itu terasa mengganjal dan mengganggu beberapa gerakan, bahkan untuk duduk dan menggambar lama pun saya jadi nggak betah.

Kembali berselancar mencari informasi di google, ada beberapa penyakit yang gejalanya mirip dengan yang saya alami. Yang paling mirip, tentu saja gejala hernia. Selain hernia, ada peradangan usus, ada usus buntu, berbagai jenis infeksi testis, hingga kanker testis.

Rasa takut yang saya rasakan setelah mengetahui kemungkinan terburuk dari sakit yang saya alami, membuat saya malas pergi memeriksakan penyakit saya ini ke dokter. Padahal kurang apa sih, klinik faskes 1 saya itu, cuma sekitar 130 meter dari rumah saya menurut Google Maps.

Hari berganti hari, rasa mengganjal di bagian benjolan di bawah perut dan testis semakin mengganggu, hingga akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke klinik faskes 1 dan memeriksakan penyakit saya ini. Jujur, saat itu saya lebih ke arah rasa penasaran sebenarnya ini penyakit apa, ketimbang ingin sembuh dari penyakit ini, manusia yang aneh.


----------


Selasa, 31 Mei 2022.

Saya pergi ke klinik di pagi hari, sekitar jam 9. Kondisi klinik cukup sepi, hanya ada sekitar 3 orang yang mengantre. Proses pendaftaran di klinik sekarang sudah sangat sederhana, cukup menyerahkan kartu BPJS di loket pendaftaran, duduk, setelah itu diukur tensi. Tensi saya normal, dan dipersilahkan duduk menunggu panggilan.

Melihat kondisi klinik saat ini, sudah rapi dan canggih sekali ketimbang terakhir saya kesini, sekitar tahun 2015-an. Informasi terpampang dengan jelas, ada juga informasi dalam bentuk qr code serta link website. Fasilitas wi-fi untuk pengunjung pun ada, dan passwordnya dipajang di dinding ruang tunggu, sehingga orang yang menunggu dan kebetulan tidak punya paket data bisa menunggu sambil internetan.

Akhirnya nama saya dipanggil, dan masuk ke ruangan dokter umum. Tanpa basa basi, saya langsung menjelaskan apa yang terjadi.

“Jadi beberapa minggu lalu, setelah saya minum kopi kebanyakan, sama makan makanan pedes, perut saya yang tadinya sembelit tiba-tiba diare… Nah, pas diare itu, ada benjolan di area selangkangan, di bawah perut. Tapi nggak ada rasa sakitnya, setelah diare itu lewat juga badan saya kayak normal dan sehat-sehat aja, tapi benjolannya itu masih ada, itu kira-kira kenapa ya dok?”, kata saya.

“Bapak ada angkat-angkat berat?”, jawab dokter.

“Iya, saya baru-baru ini olahraga angkat berat, dok.”

“Berarti hernia itu pak, sudah lama ada benjolan begitu atau baru-baru aja?”

“Sebenarnya sih sudah lama dok, tapi biasanya sehari dua hari gitu dia ilang lagi, nah ini tumben udah seminggu apa dua minggu gitu ga ilang-ilang lagi benjolannya, tapi nggak ada rasa sakit apa-apa juga…”

“Iya hernia itu pak, memang kalau belum terlalu parah, usus yang turun biasanya bisa kembali lagi ke tempat semula saat kita tidur. Tapi kalau sudah lama dan semakin parah, biasanya lubang tempat turunnya usus itu semakin besar, dan usus yang sudah turun susah kembali ke tempat semula. Ya sudah, langsung saya rujuk saja ke dokter bedah ya… Nanti disana diperiksa lebih lanjut. Kalau dokter bedahnya bilang harus di operasi, bapak harus siap ya. Karena kalau bapak menolak tindakan operasi, nanti suatu saat penyakitnya semakin parah, dan bapak pengen operasi, itu sudah tidak bisa ditanggung lagi oleh BPJS pak. Gimana?”

“Siap, siap dok.”

Jujur, saya sangat takut dan tidak ingin dioperasi. Tapi berdasarkan infomasi seputar hernia yang saya dapatkan, tidak ada jalan lain untuk benar-benar sembuh dari hernia, kecuali dioperasi. Jadi, mau tidak mau, saya mencoba menguatkan diri dan mengikuti saran dari dokter.

Dengan percakapan sesingkat itu, dokter langsung tahu itu adalah hernia. Sedangkan saya, seorang manusia yang tidak pernah menuntut ilmu di bidang kesehatan, mencoba mencari jawaban di internet dimana semua hal bisa terjadi. Sudahlah, lain kali kalau ada gangguan kesehatan, seremeh apapun, langsung saja ke dokter…

Saat dokter mau memberi surat rujukan ke dokter bedah dan melihat kalender, ternyata tanggal 1 Juni adalah tanggal merah. Terpaksa rujukannya ditunda, karena kata dokter, surat rujukan hanya bisa dipakai maksimal 1 hari setelah suratnya diberikan.

Jadi, saya harus kembali ke klinik faskes 1 dan meminta surat rujukan di hari Kamis, tanggal 2 Juni 2022. Belum apa-apa, perjalanan menuju kesembuhan terasa sulit, sudah tertunda akibat ada tanggal merah yang tiba-tiba menjadi penghalang. Padahal, ya siapa suruh baru periksa sekarang?


----------


Kamis, 2 Juni 2022.

Saya hampir menunda pergi ke klinik untuk meminta surat rujukan, karena saya pikir kalau dapat rujukannya hari Kamis, bisa jadi daftar dan antre untuk bertemu dengan dokter bedahnya di hari Jum’at, hari yang dibilang pendek, dan segala macam negative thinking yang membuat-buat alasan untuk menunda saya untuk menjalani proses pemeriksaan ini.

Pagi hari, saya sempat ngobrol dengan keluarga dan beberapa teman tentang pemeriksaan ini, dan mereka meyakinkan saya kalau ini harus segera diselesaikan, tidak ada gunanya menunda-nunda hingga hari Senin.

Akhirnya sekitar jam 9 pagi, saya pergi ke klinik, dan masih benar-benar kosong. Saya menyerahkan kartu BPJS di loket pendaftaran, dan bilang mau minta surat rujukan. Tidak lama setelah duduk, saya ditanya mau rumah sakit yang mana, dan saya memilih rumah sakit yang paling dekat dengan rumah.

Setelah memilih rumah sakit, petugas klinik memeriksa jadwal praktek dokter bedah di rumah sakit yang saya pilih, dan ternyata di hari Kamis itu, dokter bedahnya praktek di jam 9-11 siang, dan 7-11 malam. Saya memilih jam 7 malam, dan selesailah proses pengambilan surat rujukan.

Masih jam 9 pagi, saya pulang ke rumah, duduk sebentar, dan berpikir apakah sebaiknya saya daftar dulu di rumah sakit rujukan, karena sebelumnya saya belum pernah berobat disana. Tanpa pikir panjang, saya langsung pergi kesana tanpa pikir panjang, sesuatu yang aneh karena biasanya saya sangat amat malas untuk pergi mengurus hal-hal seperti itu. Mungkin tubuh saya memang sudah tidak tahan lagi dengan sensasi mengganjal dari benjolan hernia ini.

Setibanya di rumah sakit rujukan, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Saya berpikir kalau rumah sakit pasti akan sangat ramai dan akan lama sekali antre untuk mendaftar saja. Bahkan, saya sempat bercanda dengan teman saya, dimana saya mengungkapkan rasa malas ke rumah sakit karena pasti akan ramai.

“Rumah sakit ya rame, kalau sepi namanya kuburan”, kata teman saya.

Ternyata rumah sakit rujukannya sepi sekali, cuma ada 3 orang yang mengantre. Tentu saja saya langsung membalas chat teman saya tadi:

“Sepi betul eh, ini kuburan apa rumah sakit?”

Nomor antre yang saya dapatkan adalah 44. Saat saya duduk, terdengar panggilan untuk nomor urut 41. Benar-benar diluar dugaan, proses pendaftaraannya sangat cepat, dan tidak selama yang saya pikirkan tadi pagi.

Setelah nomor saya dipanggil, saya diminta nama, tanggal lahir, serta nomor HP, dan harus daftar ulang nanti sore sebelum jam 7 malam. Saya pulang dan mempersiapkan mental untuk bertemu dengan dokter bedah nanti malam, karena seumur hidup belum pernah sama sekali.

Kita melompat ke jam 7 malam, dimana sudah waktunya saya bertemu dengan sang dokter bedah. Nama saya dipanggil, dan saya ditemani istri saya, masuk kedalam ruangan sang dokter bedah.

Perbincangan awal yang terjadi dengan dokter bedah, kurang lebih sama dengan yang terjadi dengan dokter umum. Bedanya, dokter bedah menyuruh saya untuk berbaring di kasur untuk diperiksa.

Setelah saya berbaring, membuka celana, kemudian dokter bedah melihat dan memencet benjolan yang ada di bawah perut saya, dan di testis sebelah kanan beberapa kali, untuk memeriksa apakah ada rasa sakit ketika benjolan itu dipencet.

Tapi tidak ada rasa sakit yang saya rasakan, dan pemeriksaan itu pun selesai. Saya memakai celana saya kembali, lalu turun dari kasur dan duduk di kursi, menanti lanjutan penjelasan dari dokter bedah.

“Jadi ini namanya hernia inguinalis ya pak, usus yang turun akibat ada pembukaan dari saluran tempat testis turun, waktu masih anak-anak. Memang biasanya lubang tempat testis turun itu menutup seiring pertumbuhan usia, tapi sebagian tidak, dan ada juga yang jadi terbuka karena tekanan-tekanan yang terjadi di area perut. Harus segera dioperasi biar ususnya nggak turun-turun lagi, kalau nggak dioperasi, takutnya lubangnya makin besar, dan ususnya bisa terjepit sehingga pencernaan terganggu. Kalau parah sekali, ususnya bisa mati dan harus dipotong.”, kata dokter bedah.

“Oke dok, operasi aja.”, jawab saya tanpa ragu-ragu, sudah masa bodo dengan rasa takut dengan operasi.

“Tapi nanti ini setelah operasi, nggak boleh angkat berat-berat lagi ya, maksimal cuma setengah galon, kira-kira 9/10 kilogram. Olahraga juga nggak boleh yang berat-berat kayak lari, sepedaan, main bola.”, lanjut dokter bedah.

Saya yang mendengar penjelasan itu, langsung merasa kehilangan masa depan. Yang benar saja? Nggak boleh angkat beban lagi? Gimana mau membesarkan otot? Apa memang sudah ditakdirkan menjadi orang kurus atau orang gendut, tidak boleh berotot? Saya pun bertanya kepada sang dokter bedah.

“Selamanya tuh dok gak boleh?”

“Ya nggak lah, itu nggak boleh setelah operasi dalam waktu penyembuhan lukanya saja, nanti sekitar 6 bulan atau lebih, sudah bisa pelan-pelan kembali angkat yang berat-berat seperti biasa, waktu lukanya sudah sembuh total.”, jawab dokter bedah.

Harapan itu muncul kembali, dan dunia terasa sedikit lebih baik. Benjolan yang mengganggu di tubuh saya ini, sebentar lagi akan hilang, dan saya bisa hidup normal.

“Untuk operasinya, apa ditanggung full sama BPJS dok?”, tanya istri saya.

“Iya bu, untuk operasinya ditanggung sama BPJS. Tapi ini ada pilihan, mau operasi biasa, atau pakai alat tambahan. Kalau operasi biasa, otot-otot dalam tubuh saja yang disatukan supaya jadi lebih kuat. Kalau pakai alat tambahan, nama alatnya ‘mesh’, seperti jaring untuk membantu ototnya menyatu dan lebih kuat. Kalau pakai alat tambahan ini, alatnya tidak ditanggung BPJS, bayar 500 ribu.”

Apalah arti 500 ribu untuk kesehatan, dibandingkan 500 ribu untuk top-up diamond game moba nomor 1 di Indonesia yang konon katanya merupakan maling properti intelektual terbesar sejagat raya.

Dokter bedah langsung menjadwalkan hari Jum’at, 3 Juni 2022 untuk melakukan tindakan operasi. Saya sebagai seorang pekerja lepas yang tidak punya jadwal kerja yang tetap, dan tidak terikat oleh kantor, ya setuju-setuju saja. Lebih cepat, lebih baik.

Dokter bedah pun menulis surat perjanjian operasi, dan memberikannya kepada saya, untuk diserahkan ke bagian pendaftaran, sekalian mencari kamar untuk rawat inap di hari Jum’at setelah operasi.

Lagi-lagi, saya merasa beruntung di hari itu rumah sakit begitu sepi, tidak banyak orang seperti biasanya, mungkin faktor covid sudah tidak nge-hits lagi?

Setelah saya menyerahkan surat perjanjian operasi dan rawat inap tadi, saya disuruh pergi ke laboratorium untuk diswab antigen. Saya cukup terkejut, karena selama 2 atau hampir 3 tahun covid melanda, saya tidak pernah sekalipun merasakan bagaimana sensasi swab antigen, yang dicolok dalam hidung. Maklum, selama covid benar-benar tidak pernah keluar rumah sama sekali.

Ternyata swab yang dicolok dihidung, tidak begitu menyiksa. Walaupun memang cukup mengganggu. Setelah diswab, saya kembali ke bagian pendaftaran dan bertanya aplagi yang harus dilakukan. Tidak ada, kembali lagi besok sore jam 3.

Di jalan pulang, saya merasa cukup lega karena ternyata penyakit saya, memang hernia. Bukan kanker testis mengerikan yang saya baca-baca di google. Lagi-lagi, setelah kejadian ini, saya pikir lebih baik segera ke klinik dan periksa daripada menunggu penyakitnya semakin menjadi-jadi.


----------


Jum’at, 3 Juni 2022.

Hari operasi tiba. Saya masih cukup bingung dan bersyukur, bahwa proses pemeriksaan sampai operasi bisa dilakukan secepat ini, tanpa perlu menunggu beberapa hari. Ini merupakan hari yang besar bagi saya, karena ini adalah pertama kalinya saya merasakan operasi.

Jam 3 sore, saya berangkat ke rumah sakit rujukan bersama istri. Saya disuruh berpuasa kira-kira dari jam 1 atau 2 siang, karena operasi akan dilakukan jam 8 malam. Perlu 6 jam berpuasa sebelum operasi dilakukan. Katanya sih, masih boleh makan atau minum yang ringan-ringan. Tapi daripada-daripada, lebih baik saya puasa total.

Sesampainya di rumah sakit rujukan, saya menyerahkan surat perjanjian operasi dan rawat inap yang kemarin diberikan di bagian pendaftaran. Setelah itu saya disuruh tunggu di depan ruang unit gawat darurat (UGD), sedangkan istri saya disuruh untuk tes swab antigen, karena pendamping juga diwajibkan untuk tes. Walaupun kasus covid sudah di bawah 10 kasus kalau saya lihat di media sosial Dinas Kesehatan Samarinda, kita tetap harus waspada.

Tak lama menunggu, nama saya dipanggil untuk masuk ke UGD. Saya diberi selembar kertas, untuk dibawa ke ruang radiologi, dan dironsen di bagian dada. Sepertinya, masih ada hubungannya dengan covid. Tapi, nggak tau juga deh.

Yang saya agak heran, sejauh ini tidak ada pemeriksaan dengan ronsen atau ultrasonografi (USG) di bagian perut, untuk memeriksa sebenarnya ada apa di dalam perut saya ini. Tapi mungkin, karena waktu diperiksa oleh dokter bedah dan dipencet-pencet tidak ada rasa nyeri, sudah bisa dipastikan ini hernia, bukan hal lain.

Selesai dironsen, kembali ke ruang UGD dan disuruh berbaring di sebuah bilik yang sangat dingin. Saya tidak tahu apa memang ruangan itu dingin, atau karena saya begitu gugupnya, hingga merasa dingin.

Salah satu tantangan yang menanti saya, akhirnya tiba. Seorang perawat membawa peralatan infus.

Perawat itu mulai mengoleskan cairan dingin di tangan kiri saya, sepertinya alkohol, atau semacamnya.

“Saya tusuk ya pak, tarik nafas dalam-dalam ya pak.”, kata perawat itu memberi aba-aba.

“Oke.”, jawab saya singkat.

Saya langsung menarik nafas sedalam-dalamnya, dan seketika itu juga merasakan sensasi tusukan infus yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Lagi-lagi, ternyata ekspektasi saya terlalu berlebihan. Rasa takut saya dengan jarum, membuat rasa sakit yang saya bayangkan jutaan kali lebih sakit daripada rasa sakit yang saya rasakan sebenarnya. Ternyata, ditusuk jarum infus tidak sakit-sakit amat. Lega rasanya.

Saya terbaring menunggu waktu operasi tiba, walaupun kata perawat boleh duduk, saya memilih untuk berbaring dan berpasrah menunggu waktu operasi tiba. Ternyata tidak lama kemudian, saya dibawa pindah dari UGD, menuju ruangan rawat inap.

Sesampainya di ruang rawat inap, lumayan lah, ternyata ruangan rawat inap kelas 2 BPJS, sama sekali tidak buruk, dan nyaman untuk ditempati. Kamarnya rapi, ada air conditioner yang sejuk, dan ada 4 ranjang yang bersebelahan, dan terpisah oleh tirai yang tertutup full, sehingga pasien dan pendampingnya tidak harus terus menerus bertatapan dengan pasien tetangganya.

Setelah itu, tidak banyak yang saya lakukan, hanya berputar-putar di sosial media dari sore, hingga jam 8 malam tiba.

Jam 7 malam, datang seorang perawat, yang kemudian menyuntikkan obat tes alergi sebelum operasi. Posisi tesnya ada di lengan kiri, di bagian bawah, menurut saya seperti orang pakai narkoba (walaupun saya gak pernah pakai dan gak tahu persis gimana cara memakai narkoba ya). Di sekitar tempat suntikan obat tes alergi itu diberi titik-titik membentuk lingkaran, sebagai batas apabila muncul ruam-ruam atau bentol-bentol yang menandakan alergi, dan operasi harus ditunda.

Dan hasilnya, saya tidak alergi obat. Lega rasanya, tidak perlu menunda-nunda lagi operasinya.

Jam 8 sudah tiba. perawat yang akan memandu saya ke ruang operasi, sudah datang menjemput. Saya dibawa ke ruang steril, untuk mengganti pakaian yang saya pakai dengan pakaian operasi berwarna hijau.

Saya pikir saya akan deg-degan luar biasa setelah memakai baju operasi dan berjalan menuju ruang operasi. Tapi ternyata, dengan tenang dan pasrah saya mengikuti perawat yang menuntun saya berjalan menuju ruang operasi.

Sesampainya di ruang operasi, saya melihat cukup banyak petugas kesehatan, mungkin ada sekitar 5 sampai 8 orang kalau saya tidak salah ingat, kemudian saya disuruh naik ke tempat tidur operasi dan berbaring sebelum disuntik obat bius dari bagian belakang tubuh saya.

Setelah saya berbaring, tangan direntangkan, alat pengukur tensi dipasang di tangan kanan, alat pengukur detak jantung dipasang di tangan kiri. Bunyi-bunyian dari alat kesehatan itu mulai memberikan sebuah nuansa tegang dan mencekam, tapi percakapan dokter dan tenaga kesehatan yang kadang menggelitik, cukup mencairkan suasana.

Tak lama, saya diminta untuk duduk dan membungkuk, untuk mulai disuntikkan obat bius. Posisi membungkuknya agak sulit, karena badan saya yang dari dulu memang rasanya kurang fleksibel. Butuh beberapa kali perbaikan dari para petugas, hingga akhirnya posisinya benar. Katanya, duduk seperti udang.

Suntikan berisi obat bius pun menembus bagian belakang tubuh saya tanpa aba-aba. Tapi lagi-lagi, rasa sakitnya ternyata biasa saja, tidak sesakit yang saya bayangkan. Mungkin juga karena obatnya obat bius, sesaat setelah obatnya masuk, tubuh saya mulai mati rasa dan tidak merasakan sakit.

Sebelum masuk ruang operasi, istri saya memberitahu kalau setelah diberi obat bius, jangan lupa mengangkat-angkat kaki sekuat tenaga, karena kalau kakinya masih bisa diangkat, berarti obat biusnya belum benar-benar full bekerja, dan masih bisa merasakan sakit.

Jadi setelah dibius dan kembali berbaring, saya terus menerus menggerakkan kaki saya, hingga beberapa saat kemudian dokternya menyuruh saya untuk mengangkat kaki.

Ternyata kaki saya masih bisa diangkat, biusnya belum bekerja dengan benar. Saya disuruh kembali duduk, dan disuruh batuk sebanyak 3 kali. Buat apa ya? Mungkin biar obat biusnya turun.

Benar saja, setelah batuk-batuk palsu dan kembali berbaring, kaki saya mulai kesemutan, dan tiba-tiba  tidak bisa saya gerakkan lagi. Dokter dan para petugas langsung memasang tirai yang menutup bagian bawah tubuh saya, sehingga saya tidak bisa melihat langsung proses operasinya.

Tapi, ada dua buah lampu operasi besar di atas. Dan lampu itu tidak cukup silau untuk menyakitkan mata saya, dan di sekitar lampunya ada kaca yang memantulkan bayangan seperti cermin. Disitu terlihat jelas bagian bawah tubuh saya, dan saya bisa melihat proses pembedahan dari pantulan kaca yang ada di lampu tersebut, sangat menarik.

Setelah dibius, perasaan saya benar-benar pasrah, tidak gelisah, tidak takut, tidak memikirkan apa-apa lagi. Mungkin seperti orang yang lagi high gitu kali ya? Dokter menyarankan saya untuk tidur, dan saya pun berharap bisa tidur, tapi kenyataannya saya tidak bisa tertidur.

Saat perut saya mulai disayat dan isi dari perut saya terlihat dengan jelas, dengan warna merah cerah yang biasanya cuma saya lihat di film-film, saya berharap saya mual dan pingsan saat melihat itu semua. Sayang sekali, ternyata itu tidak terjadi, dan saya menyaksikan proses operasinya hingga jahitan terakhir.

Proses operasinya terlihat cukup sederhana, bagian perut bawah sebelah kanan dibelah, lalu usus-usus yang turun didorong kembali ke atas, ke tempat asalnya. Kemudian otot-otot yang ada di dalam perut itu seperti dianyam, disatukan kembali setelah terlepas. 

Setelah otot-otot dalam perut sudah tersambung, tinggal menutup sayatan perut dengan jahitan, kalau tidak salah ingat, ada 2 kali proses menjahit, bagian dalam dan akhirnya bagian luar.

Setelah operasi selesai, saya diberikan potongan kantung hernia yang dipotong, yang katanya supaya ususnya tidak turun-turun lagi. Agak ngeri sih bentuknya, tapi lumayan lah, buat kenang-kenangan.

Kemudian saya diantar kembali ke ruangan rawat inap, dan diberitahukan kalau boleh minum dan makan setelah dua jam, tanpa harus menunggu buang gas, tidak seperti beberapa operasi sejenis yang mengharuskan pasien buang gas sebelum boleh makan.

Malam itu terasa sangat damai, salah satu tahapan terberatnya sudah terlewati tanpa berbagai macam halangan. Saya tertidur dengan tenang, mungkin karena memang ngantuk.



----------


Sabtu, 4 Juni 2022, hari ke 1 setelah operasi.

Saya terbangun di jam 3 pagi, dan merasa haus. Kaki saya masih terasa kesemutan dan belum bisa digerakkan secara sempurna, untungnya tidak ada rasa ingin buang air kecil ataupun besar, hanya hausd dan ingin minum.

Saya minum, dan melanjutkan tidur.

Jam 6 pagi saya bangun, dan mengganti pakaian operasi yang masih terpakai, dengan pakaian biasa yang saya bawa. Proses ganti baju cukup ribet, karena badan saya sulit untuk bergerak, dan infus masih menempel di lengan kiri. 

Tak lama, datang perawat mengantarkan sarapan. Sarapannya biasa saja, tapi enak luar biasa. Mungkin karena rasa lega karena sudah berhasil menempuh operasi semalam.

Setelah sarapan, datang lagi perawat untuk menyuntikkan sesuatu melalui infus, saya tidak tanya, dan tidak terlalu penasaran. Yang ada di pikiran saya cuma ingin pulang, sudah tidak sabar mau main Fortnite (bercanda).

Kata dokter, jam 9 atau 10 pagi, kalau kondisi saya oke, sudah diperbolehkan pulang. Awalnya saya pikir akan menghabiskan minimal 3  hari di rumah sakit, tapi ternyata malah lebih cepat daripada saya menginap di rumah teman!

Dan benar saja, begitu sudah jam 9, perawat datang dan mencabut infus dari tangan saya, dan mempersilahkan istri saya untuk mengurus administrasi dan mengambil obat. Setelah itu, saya diperbolehkan untuk pulang.

Untuk pulang, tentunya saya harus berjalan dari tempat tidur rumah sakit menuju rumah. Dan di hari pertama setelah operasi, saya pikir saya akan mengalami kesulitan luar biasa untuk berjalan. Ternyata tidak, saya masih bisa berjalan seperti biasa, walaupun ada sensasi nyeri otot di bagian yang dioperasi. Mungkin, obat yang disuntik melalui infus tadi pagi, adalah obat pereda nyeri, yang membuat saya bisa berjalan tanpa rasa sakit.

Setelah administrasi selesai diurus, saya mendapat 2 jenis obat, satu adalah obat antibiotik yang harus diminum setiap pagi dan malam sesudah makan, dan harus dihabiskan. Yang kedua adalah obat pereda nyeri, yang diminum hanya kalau kita merasa nyeri. 

Sebelum pulang, saya juga diberi informasi oleh ahli gizi rumah sakit, kalau sebaiknya menghindari minuman yang bersifat diuretik atau membuat tubuh kita lebih cepat buang air kecil dan bisa mengakibatkan sembelit. Contohnya seperti teh dan kopi, walaupun teh memiliki kandungan diuretik yang lebih rendah dari kopi, tapi sebaiknya jangan diminum dulu sampai jahitannya kering.

Saya juga disarankan makan makanan yang tinggi protein dan juga serat, protein untuk mempercepat proses penyembuhan luka, dan serat supaya pencernaan lancar dan tidak sembelit. Putih telur, daging ikan terutama ikan haruan, tempe, merupakan salah satu menu utama yang disarankan untuk mempercepat proses penyembuhan.

Waktunya pulang, dan kembali menikmati kenyamanan di rumah.

Sesampainya di rumah, saya hanya berbaring, dan hanya bangun untuk makan, minum obat, atau buang air kecil.

Buang air kecil pun ternyata tidak memberikan rasa nyeri, walaupun letak luka operasinya sangat dekat dengan saluran buang air.


----------


Minggu & Senin, 5-6 Juni 2022, hari ke 2 dan 3 setelah operasi.

Tidak banyak yang bisa saya tulis di dua hari ini, karena sebagian besar waktu saya gunakan hanya untuk tidur.

Saya mencoba nonton film, main game, atau menggambar, tapi mata saya masih terlalu cepat lelah dan tidak nyaman berlama-lama melihat monitor.

Jadi, 2 hari istirahat total kali ya, hitungannya.


----------


Selasa, 7 Juni 2022,  hari ke 4 setelah operasi.

Saya masih merasakan sensasi nyeri pinggang, mungkin lagi-lagi karena pinggang saya jarang bergerak (ya, karena memang sangat sulit untuk bergerak karena takut jahitannya jebol atau kenapa-kenapa).

Hari ini juga merupakan hari pertama saya keramas, setelah 4 hari tidak keramas. Mungkin kedengarannya tidak selama itu, tapi percayalah, 4 hari, dari rumah sakit, hingga ke rumah, dan sebagian besar saya habiskan dengan berbaring, rambut saya lepek dan berminyak luar biasa, sangat tidak nyaman.

Jam 7 malam, saya ke rumah sakit untuk kontrol jahitan, dan alhamdulillah semuanya baik-baik saja. Tapi, ternyata melepas perban dan mengganti perban, jauh lebih sakit ketimbang proses suntik dan operasinya. Mungkin sebenarnya proses penyembuhan ini yang bikin orang malas untuk berobat dan melakukan operasi...

Setelah ganti perban, diberitahu oleh dokter kalau tanggal 20 Juni kembali lagi untuk cek jahitan lagi, dan hari Jum'at (tanggal 10 Juni) perbannya sudah bisa dilepas dan sudah bisa mandi. Setelah mandi, ada obat salep yang harus dioleskan tipis2 di area jahitan.

Secara garis besar hari keempat ini sudah mulai terasa normal, hanya saja sempat bersin, dan rasanya sakit luar biasa di bagian jahitan. Di siang hari juga saya merasakan sedikit sakit kepala, yang membuat saya memilih untuk rebahan ketimbang menyelesaikan gambar.


----------


Rabu, 8 Juni 2022, hari ke 5 setelah operasi,

Saya merasa lebih sehat dan lebih berenergi saat bangun di pagi hari, dan tidak lagi mengalami kesulitan untuk bangun dari tempat tidur. Seperti biasa, belum bisa mandi, jadi hanya menyeka tubuh dengan hati-hati agar perban tidak basah.

Sekitar jam 9 pagi, saya merasakan sensasi yang sudah 5 hari tidak saya rasakan, rasa ingin buang air besar. Saya mencoba pergi ke toilet dan bersemedi, dan akhirnya kotoran-kotoran itu pun minggat dari tubuh saya, setelah 5 hari menginap. Lega rasanya setelah mengetahui saya bisa buang air besar dengan lancar dan tanpa rasa sakit, berarti semuanya berjalan dengan lancar.

Obat antibiotik yang diberi oleh dokter akhirnya habis di hari ke lima. Lega rasanya bisa menjalani hidup seperti biasa, tanpa harus minum obat apa-apa setelah makan.


----------


Kamis, 9 Juni 2022, hari ke 6 setelah operasi,

Hari ini terasa sangat nyaman, karena sudah hampir tidak ada rasa nyeri ataupun pusing yang saya rasakan. Bangun dari posisi berbaring pun sudah hampir normal, walaupun masih sedikit kurang latihan.

Tidak ada obat, tidak ada jadwal apa-apa, benar-benar mulai seperti hari yang normal. Tentunya, masih belum bisa mandi karena perban belum dilepas.

Tidak banyak yang bisa diceritakan di hari ini, karena memang sepertinya semua akan mulai menjadi normal.

Terima kasih kepada para dokter dan tenaga kesehatan yang sudah mengoperasi!


----------


Sekian catatan perjalanan hernia saya, semoga bisa menjadi sebuah sesuatu bagi teman-teman yang membaca. Tulisan ini akan saya update, seiring berjalannya waktu.

Terima kasih sudah mampir, seperti biasa, jangan lupa jaga kesehatan, dan jangan lupa jadi orang baik.

Sampai jumpa di hal baru selanjutnya,
bye-bye!

Comments

  1. Gilak, Saya baru kali ini baca panjang seperti ini ga capek. Lebih menarik dari novel 🤣 Bahasanya enteng, mudah dimengerti.

    Semoga cepat sembuh ya bang 🥶🥶🥶
    Semangat, Istirahat yang cukup. Nanti kalo dah sembuh total olahraga lagi.

    ReplyDelete
  2. k*nt*l*d*n amat u bang. tapi mudah2an pengalamannya bermanfaat buat orang lain

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts